Kategori Bukan Biaya Fiskal
Dalam menjalankan bisnis tentunya banyak jenis pengeluaran yang menjadi
biaya bagi perusahaan, namun secara pajak ada beberapa biaya yang tidak boleh
dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu:
1. Pembagian
laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
2. Biaya
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3. Pembentukan
dana cadangan, kecuali bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, asuransi dan
pertambangan;
4. Premi
asuransi kesehatan, jiwa dwiguna dan beasiswa yang dibayarkan WPOP kecuali
dibayar pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Wajib Pajak yang bersangkutan;
5. Berupa
imbalan dalam bentuk natura, kecuali makanan/minuman/natura di daerah tertentu
dan keharusan pekerjaan;
6. Biaya
tersebut jumlahnya melebihi kewajaran atas pembayaran ke pemegang saham atau
hubungan istimewa;
7. Berupa harta
hibah, bantuan, sumbangan, yang memenuhi syarat tertentu, warisan, kecuali
sumbangan wajib keagamaan dan sumbangan fiskal;
8. Pajak
Penghasilan;
9. Biaya pribadi
wajib pajak;
10. Gaji anggota persekutuan, firma dan
CV;
11. Sanksi administrasi perpajakan.
BIAYA FISKAL
Biaya fiskal artinya biaya yang bisa menjadi pengurang penghasilan bruto.
Biaya ini dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Termasuk biaya fiskal :
1. Merupakan
biaya langsung atau tidak langsung yang terkait kegiatan usaha, antara lain
biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, bunga, sewa
dan royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya
promosi dan penjualan (diatur lebih lanjut di Permenkeu), biaya administrasi
dan pajak (kecuali Pajak Penghasilan);
2.
Penyusutan/amortisasi harta berwujud atau tidak berwujud/hak/biaya lain dengan
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;
3. Iuran dana
pensiun;
4. Kerugian atau
pengalihan harta yang dimiliki dan dipergunakan untuk usaha;
5. Kerugian
selisih kurs mata uang asing;
6. Biaya litbang
yang dilakukan di Indonesia;
7. Biaya
beasiswa, magang dan pelatihan;
8. Piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih (dengan syarat tertentu);
9. Sumbangan
penanggulangan bencana nasional, diatur dengan Peraturan Pemerintah;
10. Sumbangan untuk litbang di
Indonesia, diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. Biaya pembangunan infrastruktur
sosial, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
12. Sumabangan fasilitas pendidikan,
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Sumbangan pembinaan olah raga,
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
UKM beromzet 4 Milyard harus kena
Pajak.
JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur
Jenderal (Dirjen) Pajak Fuad Rahmany mengungkapkan bahwa pihaknya tengah
mematangkan rencana penarikan pajak penghasilan (PPh) bagi usaha kecil menengah
(UKM).
Fuad menyebutkan rencana tarif yang
dikenakan lebih rendah, dengan adanya kemudahan, baik dalam tarif pajak maupun
dalam hal metode pembayaran pajak.
Saat ditanya mengenai berapa persen
yang akan dikenakan, dia menyatakan besarannya belum final. “Ini belum final,
tapi diskusi-diskusinya sekitar 3 (persen) tidak lebih,” ujarnya, di Kantor
Bank Indonesia (BI), Jakarta, Rabu (10/8/2011).
Fuad mengatakan, UKM yang bakal
dikenakan PPh adalah UKM yang omzetnya Rp 4 miliar hingga Rp 8 miliar. “Sudah
kami hitung-hitung, itu masih murah,” ucapnya.
Lebih jauh Fuad menjelaskan, respons
dari Kementerian Urusan Koperasi dan UKM atas usulan ini baik dan positif
mendukung. “Bagus, positif, dari Hipmi juga mendukung. Kami kan sudah
komunikasi juga ke mereka. Umumnya mereka mendukung,” terangnya.
Mengenai berapa banyak penarikan
pajak UKM bisa meningkatkan penerimaan pajak, Fuad mengatakan bahwa hal itu
belum diketahui. “Kami belum tahu. Ini kan tingkat kepatuhannya masing-masing,”
ujarnya.
Sebelumnya,
Menteri Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan mengatakan bahwa rencana Direktorat
Jenderal Pajak mengenakan PPh badan untuk UKM sebesar 3-5 persen belum
final. “Itu kan belum final, belum diputuskan,” ujarnya di Jakarta, Selasa
(2/8/2011)
Rekonsiliasi / Ekualisasi PPN :
Untuk memastikan apakah seluruh omset yang dilaporkan di Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan PPh Badan sudah dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai
dengan peraturan perpajakan yang berlaku, Anda dapat melakukan rekonsiliasi PPN
(atau disebut juga ekualisasi PPN).
Pada umumnya perbedaan yang timbul antara nilai omset menurut SPT Tahunan
PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPT Masa PPN bisa timbul karena dua
kondisi. Pertama, karena karakteristik transaksi dan yang kedua karena
peraturan yang berlaku memang mengakibatkan timbulnya perbedaan.
Perbedaan-perbedaan nilai peredaran usaha menurut SPT Tahunan PPh Badan dan
SPT Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain dikarenakan oleh:
- Terdapat objek PPN yang
tidak dicatat dalam account Penjualan
Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya:
penjualan aktiva tetap bekas, pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan
lain-lain.
- Terdapat perbedaan kurs
yang dipakai dalam mencatat Penjualan di laporan keuangan dengan pembuatan
Faktur Pajak
Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia, yang dilakukan dengan
taat asas.
Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi dalam mata uang
asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi. Namun
dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu menggunakan kurs
transaksi. Kadangkala Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata dalam seminggu
atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.
Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang
menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
- Pemberian
Cash Discount
Biasanya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila pembeli dapat
membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo / syarat pembayaran yang telah
disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini disebut dengan Cash Discount.
Cash Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang tercantum dalam
Faktur Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli memanfaatkan Cash
Discount tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN akan lebih besar
daripada omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
- Adanya kesalahan tulis
atau hitung
Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis
atau kesalahan hitung (
human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau
pengisian SPT Masa PPN.
Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi atau ekualisasi PPN ini dilakukan secara
rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan jauh lebih mudah
ditelusuri. Apabila ternyata perbedaan timbul karena
human error, maka
dapat langsung diambil tindakan antisipasi untuk memperbaiki kesalahan
tersebut.
Kewajiban Memotong/ Memungut PPh.
Kewajiban memotong pajak adalah
kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan untuk memotong
sejumlah uang dari harga transaksi yang telah ditentukan, sebelum dibayarkan
kepada pihak pemberi jasa.
Contoh:
PT. Pintar Pajak memberikan jasa
konsultasi pajak kepada PT. Serba Makmur dengan tagihan senilai Rp.
15.000.000,-
Ada kejadian diatas maka PT. Serba
Makmur akan melakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% (karena PT. Pintar
Pajak memiliki NPWP), sehingga yang PT. Serba Makmur membayar tagihan PT.
Pintar Pajak sebagai berikut:
Nilai tagihan Jasa Konsultasi
Pajak
Rp. 15.000.000,-
PPh Pasal 23 yang harus dipotong
2% x Rp. 15.000.000,- (Rp. 300.000,-)
Yang dibayar kepada PT. Pintar
Pajak
Rp. 14.700.000,-
Sedangkan yang dimaksud dengan
kewajiban memungut adalah kewajiban bagi pihak yang memberi atau menerima uang
untuk memungut PPh dari pembeli atau penjual.
Contoh:
PT. Baja Kuat (bergerak di industri
baja) menjual baja kepada PT. Bangun Sejahtera (sudah memiliki NPWP) senilai
Rp. 200.000.000,- Atas penjualan ini PT. Baja Kuat harus memungut PPh Pasal 22
sebesar 0,3% dari nilai pembelian tidak termasuk PPN, sehingga tagihan yang
harus dibayar oleh PT. Bangun Sejahtera adalah:
Nilai pembelian (tidak termasuk
PPN)
Rp. 200.000.000,-
PPh Pasal 22 yang harus dipungut
0,3% x Rp. 200.000.000,- Rp. 600.000,-
Yang dibayar oleh PT. Bangun
Sejahtera Rp.
200.600.000,-
Dari kedua contoh diatas dapat
dilihat bahwa perbedaannya adalah kalau pemotongan PPh akan mengakibatkan
jumlah uang yang diterima menjadi berkurang, sedangkan kalau pemungutan PPh
akan mengakibatkan jumlah uang yang harus dibayar akan bertambah.
Berikut ini beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh pihak yang berkewajiban memotong atau memungut pajak:
- Kontrak atau perjanjian yang dibuat harus memuat
tentang kewajiban pajak yang melekat pada pihak yang akan dikenai
pemotongan atau pemungutan. Kontrak tersebut harus dibuat dan disepakati
sebelum transaksi dilakukan, untuk menghindari perselisihan atau
kesalahpahaman di kemudian hari apabila pihak yang dipotong atau dipungut
tidak mau menanggung pajaknya.
- Harus memahami mengenai objek-objek yang termasuk
kategori wihtholding tax (objek pemotongan atau pemungutan).
- Harus mengetahui besarnya tarif yang digunakan untuk
menghitung pajak yang dipotong atau dipungut.
- Jangan lupa untuk menyetor dan melaporkan pajak yang
sudah dipotong atau dipungut sebelum batas akhirnya
Pengeluaran untuk pembelian,
pendirian, penambahan, perbaikan atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah
yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai,
yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak boleh
dibebankan sekaligus, melainkan harus dengan penyusutan.
Dalam menghitung penyusutan aktiva
tetap selain bangunan, Wajib Pajak dapat memilih menggunakan metode Garis Lurus
(Straight Line) atau metode Saldo Menurun (Double Declining).
Penyusutan dimulai pada bulan
dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses
pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta
tersebut.
Dengan persetujuan Direktur Jenderal
Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai dari bulan harta
tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau
pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. Yang dimaksud dengan
menghasilkan dalam ketentuan fiskal ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi
dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Untuk keperluan penyusutan harta
berwujud bukan bangunan, Direktur Jenderal Pajak telah menetapkan jenis-jenis
harta berwujud bukan bangunan tersebut menjadi Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok
3, dan Kelompok 4.
Kelompok Harta Berwujud
|
Masa Manfaat
|
Tarif Penyusutan
|
Metode Garis Lurus
|
Metode Saldo Menurun
|
|
|
|
|
Bukan Bangunan
|
|
|
|
Kelompok 1
|
4 tahun
|
25%
|
50%
|
Kelompok 2
|
8 tahun
|
12,5%
|
25%
|
Kelompok 3
|
16 tahun
|
6,25%
|
12,5%
|
Kelompok 4
|
20 tahun
|
5%
|
10%
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bangunan
|
|
|
|
Permanen
|
20 tahun
|
5%
|
|
Tidak Permanen
|
10 tahun
|
10%
|
|
Penerapan norma penghitungan
terhadap penghasilan neto akan dilakukan terhadap Wajib Pajak yang:
-
Mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan, akan tetapi tidak
menyelenggarakan pembukuan sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang;
-
Mempunyai kewajiban pencatatan tentang peredaran bruto atau penerimaan
brutonya, akan tetapi tidak menyelenggarkan pencatatan sebagaimana diwajibkan;
-
Tidak bersedia memperlihatkan buku, catatan, serta bukti lain yang diminta oleh
fiskus.
Khusus bagi Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran bruto
dalam satu tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,- boleh menghitunga penghasilan
neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Semestinya Surat Pemberitahuan (SPT)
disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh ketentuan
perpajakan. Namun dalam prakteknya, ada saja kondisi yang menyebabkan Wajib
Pajak belum siap untuk menyampaikan SPT.
Berikut ini alternatif yang bisa
dipilih Wajib Pajak apabila sekiranya belum siap untuk menyampaikan Surat
Pemberitahuan :
- Mengajukan Permohonan Perpanjangan
Apabila Wajib Pajak tidak bisa
menyampaikan SPT Tahunan tepat waktu, Wajib Pajak dapat meminta perpanjangan
batas waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu
penyampaian SPT Tahunan dengan cara menyampaikan Pemberitahuan Perpanjangan SPT
Tahunan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q Kepala KPP tempat WP terdaftar.
Permohonan perpanjangan batas waktu
penyampaian SPT hanya berlaku untuk SPT Tahunan PPh saja, yaitu SPT Tahunan PPh
Wajib Pajak Orang Pribadi, dan SPT Tahunan PPh Badan.
Resiko yang mungkin dihadapi Wajib
Pajak atas perpanjangan SPT adalah:
- Apabila ternyata jumlah PPh terutang yang sebenarnya
adalah Kurang Bayar, maka Wajib Pajak harus membayar utang pajaknya
ditambah dengan sanksi 2% (dua persen) dari PPh yang kurang dibayar mulai
tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal dibayarkan;
- Jika ternyata jumlah PPh terutang yang sebenarnya
adalah Lebih Bayar, maka Wajib Pajak berpotensi untuk segera dilakukan
pemeriksaan pajak.
- SPT Disampaikan Terlambat
Daripada data belum siap, terpaksa
SPT disampaikan terlambat.
Sanksi berupa denda akan dikenakan
apabila SPT terlambat disampaikan:
-
SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi, dikenakan sanksi denda Rp. 100.000,-
(seratus ribu rupiah).
-
SPT Tahunan PPh Badan, dikenakan sanksi denda Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah).
Apabila keterlambatan penyampaian
SPT Tahunan tersebut juga disertai dengan keterlambatan pelunasan pajak
terutang, maka akan menimbulkan sanksi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran.
- Melaporkan Tepat Waktu, Tetapi Ada Pembetulan
Dengan kita melaporkan SPT tepat
waktu, tentunya kita akan terhindar dari sanksi administrasi berupa denda telat
lapor. Hanya apabila setelah dilakukan pembetulan atas SPT yang telah
disampaikan, terjadi Kurang Bayar maka akan dikenakan sanksi bunga 2% per bulan
dari angka pajak yang kurang dibayar. Sebaliknya apabila SPT yang dilakukan
pembetulan terjadi Lebih Bayar, akan masuk kriteria pemeriksaan.
Hal lainnya yang harus diperhatikan
adalah jangka waktu pembetulan SPT hanya diberikan maksimal 2 (dua) tahun
sebelum daluwarsa penetapan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
Dari ketiga pilihan di atas
masing-masing memiliki resiko tersendiri, yang terpenting adalah jangan sampai
Anda melupakan kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan.
Dalam
dunia bisnis, tanpa keberadaan tanda tangan suatu transaksi dapat terancam
batal. Sedangkan dalam dunia perpajakan di Indonesia, ketiadaan tanda tangan
pada dokumen perpajakan dapat mengakibatkan timbulnya sanksi pajak. Hal sama
juga bisa terjadi apabila tanda tangan yang tertera pada dokumen perpajakan
bukan merupakan tanda tangan yang semestinya.
Kadangkala
dokumen perpajakan seperti Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang harus
ditandatangan banyak sekali sehingga yang berwenang menandatanganinya
seringkali tidak ada waktu dan bahkan kalaupun ada waktu untuk tandatangan,
tangannya sampai pegal-pegal.
Supaya
lebih efisien, apakah Pemotong Pajak boleh menggunakan stempel tandatangan?
Ketentuan
perpajakan yang ada, Direktur Jenderal Pajak memperbolehkan Pemotong Pajak
menggunakan stempel tanda tangan untuk menandatangani Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan atas pembayaran dividen kepada para pemegang saham untuk jumlah
penerbitan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan minimal 6.000 (enam ribu) lembar.
Namun
sebelumnya Pemotong Pajak harus mengajukan permohonan penggunaan stempel tanda
tangan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
dilengkapi dengan:
a.
jumlah penerima dividen;
b.
penunjukan pejabat yang berwenang menandatangani Bukti Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 23/26 atas pembayaran dividen kepada para pemegang saham.
Setelah
diteliti, Kepala KPP atas nama Dirjen Pajak akan menerbitkan Surat Keputusan
Penggunaan Stempel Tanda Tangan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya permohonan dari Wajib Pajak. Jika lewat dari itu, maka permohonan
dianggap diterima.
Bagi
Pemotong Pajak yang sudah mendapat Surat Keputusan Penggunaan Stempel Tanda
Tangan, wajib:
a.
menyerahkan Specimen Tanda Tangan Pejabat yang berwenang untuk menandatangani
Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26.
b.
mencantumkan nomor dan tanggal Keputusan Penggunaan Stempel Tanda Tangan pada
Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26 atas pembayaran dividen kapada para pemegang
saham.
c.
Wajib melaporka kepada Kepala KPP apabila terjadi perubahan pejabat yang diberi
wewenang untuk menandatangani Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26, disertai
Spesimen Tanda Tangan Pejabat yang dimaksud.
Selain
Bukti Pemotongan PPh Pasal 23/26 atas pembayaran dividen kepada para pemegang
saham, Pemotong Pajak yang membayar bunga kepada para nasabah pemegang Surat Utang
Negara Obligasi Republik Indonesia (SUN ORI) juga boleh menggunakan stempel
tanda tangan apabila Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan yang diterbitkan
minimal 6000 (enam ribu) lembar, tentunya dengan permohonan terlebih dahulu
kepada Direktur Jenderal Pajak c.q Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
Sebagai
makhluk hidup tentunya manusia butuh makan setiap hari. Sedemikian pentingnya
urusan makan, saat ini banyak perusahaan yang memberikan kemudahan bagi
pegawainya terkait dengan urusan yang satu ini. Tujuannya agar pegawai dapat
lebih fokus dalam bekerja.
Bentuk
pemberian makan ada beberapa macam, tergantung dari kebijakan perusahaan,
yaitu:
Diberikan
dalam bentuk uang (benefit in cash), atau biasa disebut dengan istilah
uang makan
Keunggulan
pegawai diberikan uang makan adalah pegawai bisa memilih sendiri ingin
menyantap makan apa dengan harga yang sesuai dengan daya beli masing-masing.
Namun,
pemberian tunjangan uang makan ini harus diperhatikan aspek pajaknya. Dari sisi
pajak, benefit in cash bagi pegawai merupakan objek penghasilan dan
merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 bagi perusahaan dan merupakan deductible
expense.
Diberikan
dalam bentuk non-tunai (benefit in kinds)
Pemberian
biaya makan pegawai dalam bentuk non tunai dapat dikategorikan sebagai natura
dan/atau kenikmatan, yang menurut UU PPh tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto, dikecualikan penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai.
Dari
sisi perusahaan, penyediaan makanan dan minuman bisa dilakukan dengan dua cara,
yaitu dengan membeli dari perusahaan katering atau membeli bahan makanan dan
memasaknya sendiri di tempat kerja.
Aspek
pajak yang timbul jika membeli dari perusahaan katering adalah perusahaan harus
melakukan pemotongan PPh Pasal 23 jika pengusaha katering berbentuk badan
dengan tarif 2% dari imbalan bruto atau PPh Pasal 21 jika pengusaha katering
berupa orang pribadi dengan tarif Pasal 17 dari 50% penghasilan bruto.
Ada
kalanya tidak semua pegawai dapat menikmati makanan dan minuman yang disediakan
di tempat kerja karena alasan dinas luar. Dalam hal ini, perusahaan
diperkenankan untuk memberikan kupon atau voucher makan kepada pegawai yang
bersangkutan dengan nilai kupon yang wajar. Nilai kupon akan dianggap wajar
apabila tidak melebihi pengeluaran penyediaan makanan dan atau minuman tiap
pegawai yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja.
Dalam
transaksi di dunia bisnis, timbulnya hutang piutang merupakan hal yang umum
terjadi. Namun ada kalanya debitur tidak mampu membayar hutangnya yang dapat
disebabkan karena beberapa hal diantaranya karena pailit, force majeur,
dan alasan lainnya.
Hutang
yang tidak mampu dibayar oleh debitur menyebabkan adanya piutang tak tertagih
di sisi kreditur. Semakin banyak piutang dagang yang diberikan, maka resiko
piutang yang tak tertagih semakin besar.
Ada
dua metode penghapusan piutang tak tertagih yang biasanya digunakan dalam
akuntansi, yaitu:
1.
Metode langsung, yaitu metode yang langsung menghapus piutang yang benar-benar
sudah diketahui tidak akan dapat dibayar.
2.
Metode tidak langsung, yaitu metode yang melakukan pencadangan/penyisihan piutang
yang tidak dapat tertagih.
Secara
akuntansi, penghapusan piutang tak tertagih merupakan beban yang dapat
dijadikan pengurang penghasilan bruto dalam menyusun Laporan Laba Rugi. Dari
segi fiskal, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan
sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan:
a.
telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b.
Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak (dilakukan bersamaan dengan
penyampaian SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak yang bersangkutan sebagai
lampiran); dan
c.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani
piutang negara, atau terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur atas piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut, atau telah dipublikasikan dalam
penerbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
Persyaratan
sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih kepada debitur kecil yang jumlah piutangnya tidak melebihi
Rp. 100 juta yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang
diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri, atau
debitur lainnya yang jumlah piutangnya tidak melebihi Rp. 5 juta.
Satu
hal yang perlu diketahui, apabila di kemudian hari atas penghapusan piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan sudah dibebankan sebagai biaya
tersebut ternyata dilunasi seluruhnya atau sebagian oleh debitur, maka jumlah
piutang yang dilunasi tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada tahun
pajak diterimanya pelunasan piutang tersebut.
Penyusutan
atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau
perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dmiliki dan digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama
masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
Untuk
keperluan penyusutan, harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat
dikelompokkan menjadi Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok 3, dan Kelompok 4 (terlampir)
Jenis-jenis
harta berwujud bukan bangunan yang tidak tercantum dalam lampiran Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009, untuk kepentingan penyusutan digunakan masa
manfaat dalam Kelompok 3, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan masa manfaat
yang sesungguhnya dan harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal
Pajak melalui Kanwil DJP yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak yang
bersangkutan terdaftar.
Permohonan
tersebut harus disampaikan dengan menggunakan formulir sebagaimana yang telah
ditetapkan dan dilampiri dengan:
a.
penjelasan terperinci mengenai aktiva;
b.
spesifikasi aktiva dari produsen;
c.
perkiraan umur aktiva/masa manfaat ekonomis dari Penilai Publik; dan
d.
dokumen teknis pendukung dari produsen mengenai masa manfaat aktiva.
Kepala
Kanwil DJP, atas nama Menteri Keuangan, harus memberikan keputusan atas
permohonan Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan beserta
dokumen pendukung diterima lengkap. Jika lewat dari itu, permohonan Wajib Pajak
dianggap diterima.