Senin, 20 Februari 2012

PPh PASAL 26


PPh 26 atas Jasa Luar Negeri
Pertanyaan saya:
1. Apakah betul Penerimaan WP LN atas Jasa yang diberikan kpd PT ABC merupakan obyek PPh26.
2. Meskipun PT ABC belum membayar tagihan selama bertahun tahun apakah tetap harus pungut dan setor PPh 26?
3.Mengapa di tax treaty (Singapore dan Malaysia) tidak memberikan secara tegas pasala yang menyatakan penghasilan atas jasa yang diterima WP LN dikenakan PPh26 sebesar 20%?
4. Jika ada COR atau COD (Certificate of Resident/Domicile) dikenakan hanya 10% atas PPh 26...Mana pasal yang mendukung atau KEPMEN yang mendukung statement ini?
5. Apakah PPh 26 yang kita pungut dari tagihan dan kita setor dengan SSP dapat dikreditkan dengan PAJAK BADAN WP LN (Wajib Pajak Luar Negeri).
6. Untuk kode SSP atas PPh26 JASA Luar Negeri apa ya pak..?
Benar bahwa atas pembayaran jasa ke luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20%.

Pasal 26 adalah pemotongan PPh atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri. Ini berdasarkan asas sumber. Indonesia sebagai sumber penghasilan memiliki kewenangan untuk mengenakan PPh.

Karena subjek pajaknya di luar negeri maka kewajiban perpajakan mereka sebatas atas penghasilan dari Indonesia saja. Tetapi jika Indonesia menagih ke si subjek pajak yang di luar negeri maka sangat susah karena mereka berada di luar negeri. Karena itu pembayar penghasilan (sumber di Indonesia) diberikan kewajiban untuk memotong dan menyetor. Dengan disetorkannya PPh oleh wajib pajak dalam negeri, maka kewajiban perpajakan si wajib pajak luar negeri selesai. Inilah yang disebut PPh Pasal 26 karena diatur di Pasal 26 UU PPh.

Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 sudah timbul saat terjadi tagihan dari mitra kerja kita di luar negeri. Walaupun atas tagihan tersebut belum dibayar tetapi tetap sudah terutang. Hanya saja saat bayar ke bank persepsi, saran saya di SSP harus dicantumkan nomor tagihan tersebut. Ini untuk meyakinkan siapa saja dan KAPAN saja bahwa atas tagihan tersebut sudah dipotong PPh Pasal 26.

Konstruksi tax treaty dengan UU PPh tentu beda. Tax treaty hanya "mancabuti" kewenangan UU PPh berdasarkan jenis penghasilan. Apakah passive income atau active income. Pasal 7 biasanya mengatur active income dengan judul BUSINESS INCOME. Berdasarkan Pasal 7 tax treaty, hak pemajakan negara sumber "dibatasi" hanya jika penghasilan tersebut melalui permanent establisment. Saya kutip Pasal 7 ayat (1) tax treaty Singapur - Indonesia :
The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State but only so much of them as is attributable to that permanent establishment.

Certificate of domicile (COD) adalah syarat penggunaan tax treaty. Apakah benar penerima penghasilan orang singapur? Jawabnnya ada di COD. Ini persyaratan formal yang harus dipenuhi oleh si wajib pajak luar negeri. Jika wajib pajak luar negeri yang menjadi mitra kerja kita tidak dapat memberikan COD maka aturan yang berlaku kembali ke Pasal 26 UU PPh.

Karena PPh Pasal 26 merupakan pembayaran PPh atas wajib pajak luar negeri maka PPh Pasal 26 tidak bisa dikreditkan dengan PPh Badan penyetor. "Pemilik" PPh-nya berbeda. Tetapi bisa dikreditkan oleh si wajib pajak luar negeri.

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26

By dudi, on November 17th, 2010
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Ya, berdasarkan azas sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding tax yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat jenis PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya sendiri.
PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan PPh Pasal 26 ayat (1) ini sedangkan tulisan tentang PPh Pasal 26 ayat (2), ayat (2a) dan ayat (4) sudah saya buat di tautan berikut ini :
Istilah PPh Pasal 26 dalam tulisan ini dimaksudkan sebenarnya pada ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu jenis PPh Pasal 26 yang pertama selain yang sudah saya tuliskan dalam tautan di atas.

Pemotong PPh Pasal 26

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1)  adalah :
a.    Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.
b.    Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c.    Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
d.    Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
e.    Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

Fihak Yang Dipotong PPh Pasal 26

Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan terhadap Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat.
Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT Tahunan.

Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26

Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :
  1. dividen;
  2. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;
  4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. hadiah dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
  8. keuntungan karena pembebasan utang
Perhatikan bahwa objek PPh Pasal 26 ayat (1) ini adalah mirip dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Yang membedakannya dengan PPh Pasal 26 adalah bahwa penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri, sedangkan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri.

Tarif dan Dasar Pengenaan

Tarif PPh Pasal 26 adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Misalkan PT ABC di Indonesia membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta = Rp20 Juta.
Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya. Apabila ada P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar